Jumat, 08 November 2013

KASUS

Di kesempatan kali ini saya akan menuliskan tindakan kurang terpuji dan pencemaran nama baik. Berdasarkan beberapa kasus yang saya lihat secara langsung, ketika seorang pol*si sedang mengatur lalu lintas di sebuah simpang jalan dan ada seorang pengendara sepeda motor yang melanggar peraturan lalu lintas serta tidak memiliki surat2 yang lengkap, tanpa melihat siapa dia atau tanpa pandang bulu si pol*si tersebut memberhentikan si pengendara untuk memberitahukan kesalahan si pengendara. Si polisi memulai pembicaraan (melakukan hormat terlebih dahulu) selamat siang pak, mohon maaf apakah bapak tidak melihat bahwa lampu jalan sudah pada warna merah yang artinya semua kendaraan dilarang melintas dan harus menunggu di belakang garis, boleh saya liat surat-suratnya?". Si pengendara dengan berbagai macam alasan mengalihkan pembicaraan agar si pol*si tersebut lupa untuk memeriksa surat-surat tersebut, karena surat-surat yang pengendara miliki tidak lengkap. Sampai akhirnya si pol*si tersebut sedikit memaksa si pengendara untuk tetap memperlihatkan surat-suratnya, si pengendara menunjukkan surat-suratnya setelah melihat surat-suratnya si pol*si akan menilang si pengendara, ketika akan mengeluarkan buku tilang dari dalam saku celana, si pengendara menawarkan untuk tidak ditilang dan si pengendara berkata, "damai saja pak", pol*si pun tetap untuk melaksanakan tugasnya yaitu menilang si pengendara tersebut, si pengendara pun terus menawarkan "perdamaian" dan pada akhirnya si pol*si tersebut mau "berdamai", uang sebesar Rp XXXXX di terima oleh si pol*si sebagai suatu "perdamaian". Si pengendara pun menyalakan kendaraannya dan meninggalkan pol*si tersebut. Keesokan harinya si pengendara melakukan kesalahan di media sosial (kebetulan saya mengenal si pengendara) dia menulis sebuah artikel di salah satu medsos yang sangat populer "aparat sialan gara-gara lu uang gue Rp XXXXX melayang, masih aja lu doyan uang rakyat kecil". Kali ini saya akan bertanya kepada para pembaca, apakah si pengendara itu layak untuk berbicara seperti itu ? Layak untuk menjelek-jelekan suatu instansi ? Padahal kenyataannya bukan hanya si pol*si yang salah karena telah menerima uang "perdamaian" itu, si pengendara juga salah karena telah menawarkannya, tetapi disini si pengendara tidak mau disalahkan, yang lebih saya sayangkan lagi adalah tindakan si pengendara yang menuliskan kata-kata jelek tersebut di sebuah media sosial. Sebagai penulis artikel ini saya hanya ingin memberikan saran, tindakan tersebut sama saja seperti tindak korupsi karena negara manjadi korbannya dan sebaiknya pol*si pun tidak tergoda atau tidak menawarkan "perdamaian" tersebut. Karena ketika tidak ada yang menawarkan atau yang ditawarkan "perdamaian" itu, pasti tindakan tersebut tidak akan terjadi, karena menurut saya "corruption is like a dance" karena tindakan korupsi tidak bisa dilakukan oleh sepihak, pasti ada pihak ke dua yang ikut terlibat. Dan sebaiknya ketika ada "pengendara-pengendara" lain yang pernah melakukan perdamaian sebaiknya tidak perlu sampai melakukan menulis artikel di medsos karena itu akan menimbulkan negative thinking oleh masyarakat-masyarakat yang melihat artikel tersebut atau suatu pencorengan citra instansi tersebut. Suatu negara akan maju ketika semua masyarakatnya memiliki pemikiran yang positive.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar